Sabtu, 04 Maret 2017

Kirimkan Profil Kiaimu Menjadi KIAI-KU IDOLA-KU

Kenalkah Anda dengan santri? Ataukan masyarakat santri? Atau pecinta santri? Atau minimal orang yang menjadi penggemar/pencinta santri? Saya berani memastikan Anda tahu dengan istilah-istilah tersebut meskipun tanpa survey lapangan, atau setidaknya kuping Anda pernah dilalui kosakata yang cukup familier tersebut.
Santri tak bila terlepas dari peran seorang Kyai. Ibarat kata, tak akan ada asap bila tak ada api. Pun demikian dengan keberadaan santri. Di mana ada santri bisa dipastikan ada sesosok Kyai yang dia ikuti. Keduanya bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.
Sekarang coba kita tengok di sekitar kita. Adakah seorang santri? Atau seorang Kyai? Minimal tokoh agama yang telaten dan ulet membina warganya secara langsung, ‘muruk’i anak-anak kecil dengan huruf hijaiyahnya, Pak Kaum, Merbot, Takmir, Imam Masjid/Langgar, atau apalah itu istilahnya yang intinya beliau yang sangat telaten membina warganya dengan ikhlas dan sukarela tanpa terikat dengan ikatan siapa/mana pun. Adakah itu? Saya jawab :”pasti ada”. Beliau berjuang menjaga dan mengembangkan keislaman warganya tanpa embel-embel apapun. Hanya dilimputi dengan niat ‘Lillahi ta’ala’.
Terkesan kecil, remeh dan cukup sederhana sepertinya peran beliau-beliau. Namun tak sesederhana itu. Dari sentuhan halus beliaulah muncul Ulama’ pesantren. Dari sentuhan halus budi beliaulah muncul kader-kader Kyai. Dan sebagainya. Beliaulah sang penjaga akidah warga kita, beliulah agen perubahan, beliaulah sang visioner yang mempersiapkan kader-kader handal generasi mendatang. Berkah keihlasan beliau-beliulah fan-fan ilmu diatasnya mampu tergali.
Perlu dan penting rasanya kita segera menggerakkan pena kita. Untuk merajut dan merekam jejak keikhlasan perjuangan beliau tersebut. Mumpung matahari masih berada di ufuk, mumpung nafas masih berkesempatan menghampiri tenggorokan kita. Mari gerakkan jari jemari merakit untaian alinea sebagai darma bakti kita kepada gererasi yang akan menggantikan kita.
Semua ini kita lakukan dengan harapan mampu sebagai pelecut perjuangan kita, sebagai ‘kaca benggala’ langkah kita.
Mencintai Kyai bagi kita merupakan sebuah keniscayaan. Sebuah cinta hakiki tak cukup dengan lisan lewat tenggorokan. Namun untuk menumbuhkan sebuah cinta hakiki butuh sebuah penghayatan dan kedekatan emosional yang tinggi. Untuk menumbuhkan itu kita perlu mendekat, membaca, menerawang seluruh rekam jejak kehidupan dan seluruh perjuangannya, sehingga wasilah itu kita mampu mengilhami makna perjuangan yang sesungguhnya. Serta kita menjadi ahli waris dari perjuangan Kyai kita yang telah mendahului kita semua.
Semoga dengan menelusuri ruang perjuangan para Kiai, kita mampu menjadikan Kiai sebagai Idola kita semua, semoga.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mari dukung program ini, dengan :
1. Mengirim artikel tentang biografi /profil Kiai ke email : jafar.aula1926@gmail.com disertai file rekaman dari HP, dan foto dokumentasi yang terkait dengan tulisan.
2. Merekomendasikan salah satu nama Kiai di sekitar Anda untuk kami tulis.
3. Program ini murni program nirlaba yang semoga menjadi penebar kecintaan kita kepada Kiai.
4. Tulisan Anda akan kami muat di kiaikuidolaku.blogspot.com
5. Tulisan yang layak akan kami kirim ke Majalah AULA PWNU Jawa Timur.

Selasa, 28 Februari 2017

SANTIKA FM TEMANGGUNG, Dokumentasi Ultah Ke-2





SANTIKA FM TEMANGGUNG, Dokumentasi dalam Launching.








MBAH HASYIM AFIF MENGENANG KH ABDUL HADI SHOFWAN



Lumayan pagi saya sowan kepada salah satu santri cikal bakal pondok pertama ponpes Mu’allimin Jampirejo Temanggung. Beliau pernah nyantri di Tebu Ireng yang akhirnya diminta sebagai modal pondok pesantren Mu’alimin Jampirejo. Selain itu beliau juga pernah menjadi dosen STAINU Temanggung beberapa tahun yang lalu. Simbah Kyai Hasyim Afif, nama beliau. Tanpa alasan saya sowan kepada beliau. Sowan untuk melaksanakan tugas wajib bulanan(kirim majalah Aula NU), juga bermaksud wawancara kepada beliau seputar NU Temanggung, pada zamannya, lebih khusus mencari informasi tentang Mbah Hadi Shofwan. Banyak yang beliau sampaikan kepada saya. Bermodalkan lenovo A391i saya merekam ngendiko beliau yang nyaris lirih karena bersamaan suara lantunan ayat suci yang distel di ruang tengah.
Banyak hal yang saya peroleh tentang Mbah Hadi. Inilah kira-kira beberapa penuturan beliau tentang kiprah Mbah Hadi, baik di NU juga pengabdian dan jasa beliau dalam dunia pendidikan islam di Temanggung, selamat menyimak :
“Mbah Hadi mendirikan dan mengembangkan Madrasah Mu’allimin beserta beberapa cabangnya di tempat lain. Beliau menjadi pengurus PCNU Temanggung dan PWNU Jateng, hingga berlanjut sampai ke PBNU. Dalam pendirian gedung PCNU Temanggung, mbah hadi tokoh dominan sebagai pendiri bangunan tersebut.
Selain pendirian madrasah dan gedung PCNU Temanggung, beliau juga mendirikan MA Mu’allimin Temanggung yang kebetulan juga sebagai cikal bakal berdirinya MAN Parakan (sekarang MAN Temanggung) yang saat itu bertempat di MA Mu’allimin sebelum bertempat di Aloon-Aloon Temanggung. Drs Abdul Murid merupakan salah satu alumni Mu’allimin (Parakan, saat ini tinggal di Petir Ngadirejo) yang kemudian didudukkan sebagai Kepala Madrasah MAN Parakan ketika itu.
Tidak hanya itu STAINU Temanggung, juga berdiri berkat sentuhan tangan halus Mbah Hadi, yang ketika itu dirintis dari tempat komplek Mu’alimin Jampirejo. Ketika STAINU membutuhkan tenaga sebagai dosen, sikap moderat beliau tampilkan semata-mata demi kemajuan pendidikan tinggi di STAINU Temanggung. Beliu juga meminta Bapak Imam Puro yang kebetulan pengurus Muhamadiyah untuk menjadi salah satu dosen di STAINU Temanggung. ”Aku akon ora kon ngembangke Muhammadiyae kok, tapi aku butuhke ngelmune” tutur beliau sebagai jawaban hujjah beliau. Dalam hal perbedaan beliau sangat lunak dan moderat. Dalam struktural PCNU Temanggung ketika itu beliau sebagai Ketua Umum Tanfidyah, adapun yang duduk sebagai Rois Syuriyah kala zaman itu diasto oleh Simbah Kyai Abdul Mu’in Rohman Jampirejo.
Tak hanya sendiri dalam ngasto PCNU ketika itu. Muncul beberapa nama tokoh Temanggung turut serta membantu keberhasilan NU zaman Mbah Hadi. Kyai Afif Mastur (Mujahidin) beliau Anisah Mujahidin saat ini ikut menjadi Pengurus Yayasan al Kautsar Maron. Ada juga Mbah Mandhur sebagai sesepuh Temanggung kala itu. Bapak Ruslan Abidin kakak ipar Mbah Mat Bandanuji, beliau putra dari Bu Zam Mujahidin (Mbak dari Mbah Mat Bandanuji). Beliau (Bapak Ruslan Abidin) termasuk pengurus NU aktif, dimakamkan di sebelah selatan SMA 3 Temanggung. Bapak H Sutrasno M Noor Terminabuan, sebelah barat Mushola Terminabuan (istri beliau masih famili Mbah Hadi), Saluki Khoironi Butuh-pengurus NU aktif (Pejabat Depag ketika zaman Mbah Hadi) rumahnya jalan turunan Butuh arah ke timur rumah menghadap ke utara, Mbah Mat Bandanuji Mujahidin Temanggung Pengurus Ansor zaman Mbah Hadi bersamaan dengan Mbah Hasyim Afifi Kerokan Kedu. Serta beberapa tokoh NU lain yang belum terdeteksi lewat wawancara Mbah Hasyim Afif.[]
---------------------------------
Wawancara tanggal 8 Nopember 2016 kepada Simbah Kiai Hasyim Afif Kerokan Kedu, keponakan dan santri modal cikal bakal pesantren.

REKAM JEJAK SIMBAH KH.IDRIS PLUMBON SELOPAMPANG


[Suatu ketika Mbah Mangli muda menghadap sowan ke rumah Mbah Idris Plumbon. Sowan mengadap Kyai sepuh memang membawa aura tersendiri, beda tipis dengan pisowanan agung kepada Sang Ratu penguasa kedaton. Melihat Mbah Mangli datang kerumah, sontak Mbah Idris menyambut kedatangan beliau. "Monggo Kyaine Mangli, pinarak monggo mlebu mrene...!", perintah Mbah Idris menerima pisowanan Mbah Mangli muda. "Injih Mbah", jawaban Mbah Mangli muda atas sambutan tuan rumah. "Brengos dingu koyo majusi...!” kata Mbah Idris di depan Mbah Mangli muda. “Wonten pemes Mbah?” jawab Mbah Mangli muda. Tanpa menunda waktu, Mbah Mangli muda langsung menggunduli kumisnya. “Alhamdulillah bagos-bagos...” celetuk Mbah Idris melihat Mbah Mangli muda mencukur kumisnya]
Itulah sekelumit cerita tentang kharisma Mbah Idris yang masyhur di masyarakat Selopampang dan sekitarnya. Cerita di atas juga sebagai contoh ketakdhiman Mbah Mangli muda kepada Kyai yang lebih tua dari beliau. Sesuai falsafah kita, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda.

Tempat Tinggal Mbah Idris
Bertempat di sebuah desa kecil yang berdampingan dengan sungai progo, perbatasan Temanggung-Windusari Magelang, tepatnya Temanggung pojok selatan. Terdapat sebuah desa dengan nama Desa Plumbon. Desa tersebut merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Selopampang. Tepat berdampingan di ‘emperan’ selatan masjid Miftachul Huda Plumbon terdapat sebuah makam satu komplek dengan makam muslim desa Plumbon, di dalam makam tersebut terdapat jenazah Kyai Sepuh winasis satu kurun dengan Simbah Raden Alwi. Orang memanggil beliau dengan sebutan Mbah Idris Plumbon. Masjid Miftachul Huda Plumbon tersebut tepat berada di Garis Lintang -7.3824002 dan Garis Bujur 110.2123826. Masjid tersebut didirikan tahun 1951 dan di rehabilitasi ulang tahun 1997. Dan merupakan tanah wakaf dari Mbah Idris berikut komplek pelataran dan makam di samping masjid.

Jalur Nasab Mbah Idris
Mbah Idris Plumbon bernama panjang KH.Muhammad Idris bin KH.Hasan Wira'i. Ibu beliau bernama Ibu Pairah. Simbah KH.Hasan Wira’i adalah sosok seorang Kyai yang berasal dari Ndungus Sukorejo dan nyanti di jawa timur kemudian di sana di angkat sebagai menantu seorang Demang. Karena suatu hal, KH.Hasan Wira’i berpindah tempat ke Plumbon. Ketika bermukim di Plumbon beliau menikah dengan Simbah Pairah dan dikaruniai 2 keturunan bernama Ahmad Joyo Puspito dan Muhammad Idris. Ketika itu Mbah Pairah merupakan seorang janda yang sudah memiliki putra dengan nama Bapak Muradi yang akhirnya melahirkan seorang Kyai dengan nama Kyai Abdul Rosyid pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Plumbon saat ini.
Mbah Nyai Hj.Muntikanah (menantu) bercerita sambil peninggalan Mbah Idris berupa jubah, sarung, peci puluk dan serban yang pernah dipakai oleh Mbah Idris serta kitab kuning peninggalan Mbah Idris, bahwa :”Kitab – kitab niku tilaran saking Sultan Trenggono, keranten Mbah Idris niku tesih keturunan Sultan Trenggono”, tutur Mbah Nyai. Beliau juga menambahkan, pernah suatu ketika Mbah Idris ziaroh ke Makam Sultan Trenggono di Muneng Candiroto, kebetulan makam di kunci dan Mbah Idris berujar :”Nek aku pancen keturunan Mbah Sultan Trenggono mesthi wae kunci iki arep bukak dewe”. Setelah itu peristiwa ajaib muncul, tiba-tiba kunci makam tersebut membuka dengan sendirinya, sampai-sampai sang juru kunci marah-marah, dan akhirnya juru kunci tersebut meminta maaf kepada Mbah Idris.
Menurut Bapak Abdurrohman—cucu Mbah Idris dari Bp.KH.Djufri—Mbah Idris lahir pada Tahun 1870 Masehi. Beliau semasa dengan simbah Raden Alwi Randucanan Bandongan Magelang. Istri beliau yang ke-9 Hj. Siti Aminah berasal dari Kuwaraan Pirikan Secang, beliau merupakan adik dari KH.Sirodj Payaman yang masyhur dengan nama Simbah Romo Agung Payaman. Mbah Idris berkesempatan naik haji pada tahun 1921.
Bila kita amati dari petikan perbincangan Mbah Idris dengan Mbah Mangli muda tadi, bisa kita amati bahwa Mbah Idris lebih tua dari pada Mbah Mangli (KH.Hasan Asy'ari,Mangli Ngablak Magelang). Itu artinya beliau juga di atas lebih tua ketimbang Simbah Kyai Mandhur dan Simbah Kyai Chudlori Tegal Rejo Magelang, terbukti Mbah Idris sering menyuruh Mbah Mandhur atau Mbah Chudlori untuk mempimpin do'a bila berlangsung sebuah acara. “Dongani Kyaine Mandhur ! utowo Kyaine Chudlori ! sik luwi enom”, demikian kenang Nyai Hj.Muntikanah dalam ceritannya. Mbah Mandhur atau Mbah Chudlori sering sowan kepada Mbah Idris kala itu. Selain Mbah Mandhur dan Mbah Chudlori, Simbah Kyai Mangli juga sempat nyantri kepada Mbah Idris, meskipun sebatas ngaji tabarukan ataupun menyambung nasab kepada muallif kitab. Mbah Mangli ngaji dengan cara membuka kitab bagian awal, kemudian dilanjutkan membuka bagian akhir kitab begitu seterusnya. Demikian penuturan Simbah Nyai Hj.Muntikanah—menantu Mbah Idris. Bapak Abdurohman juga menuturkan bahwa Mbah Idris merupakan salah satu wali kutub pada zamannya.
Guru Mbah Idris
Pada usia muda, beliau hampir mengabiskan waktu mudanya untuk menuntut ilmu kepada Simbah KH.Makshum Punduh Salaman. Tak tanggung-tanggung, Mbah Idris muda menuntut ilmu kepada Simbah Makshum Punduh selama 21 tahun. Hingga akhirnya menikah dengan Ibu Nyai Siti Aminah salah satu Neng dari Kuwaraan Pirikan Secang Magelang kala itu. Pernikahan itu merupakan yang ke-9 kalinya. Dari hasil pernikahan itu dikaruniai 7 keturunan yakni Muslimah, Aminah, Abdul ghoni, Muhammad Rum, Asmuni, Komariyah dan Djufri.
Kedermawanan Mbah Idris
Beliau sosok yang sangat dermawan, ketika itu pernah memberikan sawah (3 kesuk red.jawa) kepada salah satu penduduk yang sering membantu beliau di sawah. 
Pada zaman belanda rumah beliau pernah dijadikan sebagai camp markas para pejuang kemerdekaan. Menantu beliau bercerita bahwa ketika itu ada seseorang yang mau minta makan kepada Mbah Idris :”Mbah ajeng nyuwun maem’me”, kemudian Mbah Idris menjawab :”Raono panganane wis tak wehke tentara” jawab Mbah Idris kepada peminta tersebut. Setelah itu peminta tersebut lari hendak melaporkan infomasi tersebut kepada Belanda dan akhirnya dikejar mati di tembak oleh tentara, ternyata dia adalah telik sandi belanda. Dalam hal besedekah beliau tak tanggung-tanggung akan tetapi beliau sangat anti bila mentasyarufkan hartanya kepada hal yang tak ada manfaatnya, apalagi berfoya-foya.
Dalam membina 30 santrinya, beliau menanggung seluruh kebutuhan santri setiap harinya baik makan ataupun pakaian. Semua santri pun demikian, semuanya senantiasa membantu segala kerepotan Mbah Idris, khususnya dalam mengolah sawah olahan beliau. Bahkan beliau sering membagi-bagikan mukena kepada masyarakat.
Karomah Mbah Idris
Ketika itu beliau juga memiliki Kuda dengan nama Kuda Sukro, sebagai kendaraan dalam mengantar perjuangan beliau. Menurut penuturan salah satu santri beliau, Mbah Idris juga memiliki kemampuan untuk berjalan cepat, atau sering dikenal dengan Ilmu Lempit Bumi. Ketika itu sang santri menemani Mbah Idris untuk berdakwah di desa Butuh Selopampang, berangkat dari Plumbon hampir maghrib dan sampai di Butuh masih maghrib, padahal jarak Plumbon—Butuh berkisar 10 KM dengan medan yang terjal. Pernah pula, Mbah Idris berjalan dari Wonoroto Windusari pulang menuju Plumbon bersama santrinya menempuh perjalanan satu puntung rokok pun tidak habis. Selain itu Mbah Idris juga akan tahu kesalahan seseorang dalam membaca dalam Al Qur’an, padahal itu dalam usia yang cukup senja, ketika mendengar kesalahan tersebut Mbah Idris langsung menghardir si pembaca Qur’an tersebut.
Beliau juga terkenal sebagai pengamal ‘Dawamul Wudlu’ atau melanggengkan dalam keadaan suci dari hadas.
Ke-winasisan Mbah Idris juga menetes kepada salah satu salah satu putra beliau,  yakni KH.Djufri. ketika di mintai pendapat keponakannya, yang ketika hijrah untuk bekerja di Jakarta. Keponakannya bermimpi bahwa, Ia sering diikuti babi hutan, Ia menanyakan tafsiran mimpi tersebut kepada KH.Djufri walhasil KH.Djufri memberikan tafsiran bahwa dalam Ia mencari nafkah di Jakarta, kebanyakan mendengati perkara yang di haramkan. Kemudian Beliau menyarankan untuk pulang dan menempuh pendidikan nyantri di Pondok Pesantren I’anatut Mujtahidin Blembeng Magelang di bawah asuhan Simbah KH.Mukhlasin—santri dari Simbah Chudlori Tegal Rejo. Suatu waktu beliau juga sempat berujar kepada keponakannya, bahwa suatu ketika kamu akan mendirkan pondok pesantren di tempat itu. Tunjuk KH.Djurfi kepada keponakannya tersebut, dan kini terbukti keponakan beliau yang bernama Abdul Rosyid telah mendirikan Pondok Pesantren Salafiyah Plumbon di tempat yang Beliau tunjuk tersebut sebagai penerus perjuangan Simbah Idris Plumbon. Kini dalam melanjutkan perjuangan Mbah Idris dan KH.Djufri itu, Kyai Abdul Rasyid melanjutkan Pengajian Kemisan yang merupakan wiridan Mbah Idris ketika itu.
Pada tahun 1960 beliau mendirikan pengajian di desa Ngemplak Petung Windusari bersama Pak Bakin, ditengah perbincangan dengan Mbah Bakin—tokoh Ngempak—beliau pernah berkata bahwa yang menjadi Presiden setelah Pak Karno adalah Soeharto,”Kin, saiki dewe wis duwe presiden anyar jenenge Soekarno, sak lebare Soekarno sesuk jenenge Soeharto”, kata Mbah Idris kepada Pak Bakin. Dan hingga kini pengajian selapanan itu masih dilestarikan oleh cucu beliau. Tiap tanggal 8 Syawal di adakan Pengajian Syawalan dan Haul Simbah Demang Surwo Purwoto. 
Menurut penuturan simbah Son Haji Sumber Ketandan(Alm) : beliau menuturkan bahwa di alam barzah Mbah Idris terlihat duduk nyaman dan berlapiskan Karpet Hijau tebal yang tebalnya tidak dapat di ukur dengan jemari tangan (berkisar 15-san cm) ini menjadi salah satu pertanda kemuliaan beliau.
Di tengah-tengah perjalanannya belia sering mengamalkan bacaan Hauqolah(bacaan Lahaula Wala Quwwata Illa Billahil ‘aliyyil ‘adzim) dan Hizib Autad 7 kali setelah sholat maktubah, serta tak pernah putus dalam bertahajud.
Mbah Idris di Rindukan Sang Kholik
Malam kamis legi Pukul 19.30 17 April 1976 bertepatan 29 Robi’ul Akhir  malam, rupanya Sang Kholik telah merindukan kehadiran Mbah Idris, beliau menghadap Sang Kholiq pada usia 106 tahun. Usia yang di habiskan untuk mengabdikan diri kepada agama dan masyarakat. Dalam sambutannya kewafatan Mbah Idris, Mbah Raden Alwi—Randucanan Bandongan Magelang—menuturkan bahwa :”Niki sing ajeng ngantos benjing putro ragil nak Djufri”. Terbukti kurun waktu setelahnya KH.Djufri-lah yang melanjutkan pesantren Mbah Idris.



RUMAH PENINGGALAN MBAH IDRIS


KITAB KUNING PENINGGALAN MBAH IDRIS


MAKAM MBAH IDRIS



SERBAN & PECI PENINGGALAN MBAH IDRIS



RUMAH MBAH IDRIS (bagian dalam)

FOTO MENANTU & 
CUCU MBAH IDRIS MENGENAKAN JUBAH PENINGGALAN MBAH IDRIS


JUBAH PENINGGALAN MBAH IDRIS

Sumber Tulisan :
·      Wawancara dengan Menantu Mbah Idris Nyai Hj.Muntikanah (istri dari KH.Djufri—Putra ke-7 Mbah Idris) dan Bapak Abdurolrohman Cucu kesayangan Mbah Idris—Putra terakhir dari KH.Djufri.
·      Wawancara pada Ahad, 4 September 2016 bertepatan 2 Dzulhijjah 1437 Hijriyah di rumah Nyai Hj.Muntikanah Plumbon Selopampang Temanggung.











Minggu, 26 Februari 2017

KONSITENSI MENGAJAR (NGAJI)

Time it’s money. Itulah prinsip dari ekonom dalam menghargai waktu (mungkin). Mereka beranggapan bahwa setiap detik harus bernilai rupiah. Sehingga kaki menjadi kepala, kepala pun menjadi kaki, demi segepok ruiah tersebut. Beda bagi Kiai pesantren kita. Meski tidak termotifasi rupiah beliau-beliau juga sangat menghargai waktu. Kemaren penulis sempat menimpan beberapa cerita tentang kedisipilanan waktu para Kiai kita. Yang pertama tentang Gus Din Ploso Kediri, beliau sangat disiplin ketika mengajar para santrinya. Tak ada kata kosong dalam mengajar. Ketika itu beliua masih menjadi seorang pemborong bangunan. Setiap jadwal ngaji, dari proyek tanpa mampir kerumah beliau langsung ke pondok untuk mengajar. Masih bersepatu dan berkaos, dari mobil pakai sarung dan jaz beliau naik ke pondok langsung mengajar. Setelah selesai kembali beliau ke proyek bangunan sebagai jalan iktiyar mencari ‘maisyah’ (nafkah).

Cerita yang kedua tentang Mbah Mangli, atau asmo jangkep beliau Simbah KH.Hasan Asy’ari Mangli Ngablak Grabag Magelang. Setiap jam 10 pagi jama’ah pengajian sudah berkumpul di masjid. Bila waktu dirasa sudah mepet, tanpa basa-basi beliau langsung ‘nyasak’ ditengah jama’ah tersebut demi ketepatan sebuah waktu. Bahkan beliau juga pernah melompati jendela lantaran demi tepatnya waktu untuk mengajar. Demikian cerita tersebut saya dapat dari KH.Nur Badri alumni Lirboyo.

Cerita lain juga pernah saya dapat tentang Simbah KH.Maemoen Zubair (Mbah Moen). Hampir sama, bagi Mbah Moen yang sangat ngugemi keistiqomahan ngajar santri. Meskipun baru kundur dari ‘tindak’an’ beliau tetap konsisten untuk ngajar para santri beliau. Sepayah apapun itu. Keistiqomahan tersebut saat ini diikuti pula oleh putra beliau Gus Wafi Maemoen Zubair. Demikian sebuah cerita sekelumit yang saya dapat dari Gus Bisyrul Khafi Rouyan alumni Sarang.

Semoga tulisan ini bermanfaat dan menginsipasi kita, untuk beristiqomah tehadap sesuatu yang sangat baik terutama ngajar bagi yang punya ilmu, ngaji bagi yang haus ilmu. Semoga menginspirasi dan bermanfaat, amin.

===================

Temanggung, 7 Januari 2017

Kataman Kitab Karya Syaikh Ibnu 'Atholillah As Syakandari


KOLEKSI BUKU PECINTA NAHDLATUL ULAMA





KH. NAFI' ABDILLAH DAN PREMAN


Kala itu di sekitar tahun 2003, saya mendapat amanat menjadi pengurus harian Pondok Pesantren PMH Pusat. Bagi saya pribadi, ini merupakan tahun yang indah, karena saya bisa sering sowan menghadap Pengasuh; Abah Nafi' Abdillah, mulai meminta tanda tangan beliau sampai urusan-urusan lain berkenaan permasalahan pondok.
Suatu siang di tahun itu, ada seorang tamu yang mengaku sebagai reserse polisi hendak sowan Abah. Karena pada siang itu Abah sedang mengajar Matole' banat, maka kemudian tamu tersebut mencari pengurus pondok.
Saya menemuinya, mempersilakan masuk kantor pondok. Belum sempat duduk, tamu tersebut langsung bertanya; "Mas, di pondok sini ada santri baru yang namanya Muchit?".
Saya sedikit gemetar. Muchit, nama yang baru kemarin saya dengar sebagai seorang buronan kepolisian memang ada di sini. Kemarin, dia sowan langsung menghadap Abah dan berikrar untuk taubat dan berharap untuk diterima nyantri di sini. Nama Muchit sendiri di lingkungan kampung sekitar sini sudah cukup populer aksi kriminalnya. Pernah menjadi narapidana kasus pencurian sarang burung walet, kasus pembunuhan, pembacokan warga, dan tawuran antar kampung. Dan pada kasus yang sekarang, saya dengar dia habis membacok seorang kondektur bis, lantaran kondektur tersebut menolak memberi upeti jatah mabuk untuknya.
Sekarang jelas, bahwa tamu yang sedang mencarinya ini adalah seorang reserse polisi. "Saya tidak tahu Pak," jawab saya. "Betul tidak tahu mas?", tanyanya lagi. "Mungkin bapak lebih baik sowan langsung ke Abah nanti sore sepulang Abah mengajar", jawabku untuk menghindari pertanyaannya lebih lanjut. "Hati-hati ya mas, kalau kamu menyembunyikan seorang buronan, kamu juga nanti bisa ditahan", pesan pak polisi sebelum pamit.
Selepas pak polisi tersebut pergi, saya dengan cepat mencari Muchit. Ternyata dia sedang tidur siang di kamar pojok ndalem Abah. Terlihat dari baju yang tersibak, badannya yang penuh tato. Saya membangunkannya dan berpesan kepadanya untuk tidak keluyuran kemana-mana. "Kamu harus tetap berlindung di sini, sampai Abah yang nanti memutuskan permasalahanmu." Dia mengangguk dan mengucap terima kasih berulang-ulang.
Jam 5 sore, pintu depan ndalem Abah terbuka, pertanda bahwa Abah mempersilakan siapa saja yang hendak bertamu. Saya menunggu di depan, dan pak polisi datang tepat waktu. Saya mempersilakannya masuk ke ndalem. Menunggu sebentar, Abah miyos dan kami bersalaman. Saya mendekat Abah dan matur mengenai sosok tamu ini. Dan pak polisi menyambung menjelaskan maksud kedatangannya.
Abah diam sejenak, lalu ngendikan, "Kalau seandainya dia (Muchid) biar tetap di sini dan saya yang akan mengurusnya, pripun?". Belum sempat pak polisi menjawab, Abah melanjutkan, "Biaya kasus, denda, dan tetek bengeknya pinten?".
Pak polisi terdiam. Sosok yang tadi siang saya kenal garang dan tegas, sekarang menjadi lembut dan santun, "Nggeh mpun pak yai, kulo ndere'ke mawon."
Abah tersenyum, sekejap masuk ke dalam dan keluar dengan menggenggam segepok uang dan memberikannya kepada pak polisi, "Monggo, ini biaya pengurusan Muchit". "Mboten usah pak yai, saya percaya panjenengan", jawab pak polisi.
Singkat cerita, pak polisi berpamitan, bersalaman, Abah memeluknya, pak polisi balas memeluk, sembari tersenyum.
Saya ikut berpamitan, ketika bersalaman, Abah berpesan,"Muchid diajari ngaji ya, mulai alif ba', sing sabar, iki amanat."
Keluar ndalem, saya masih terdiam dalam takjub. Abah Nafi', seluas itu samudera hati panjenengan, bahkan kepada seseorang yang oleh masyarakat telah dicap sebagai "sampah masyarakat", panjenengan bersedia menampungnya.
Senantiasa mengalir ke pangkuanmu, Abah Yai Nafi' Abdillah: al-Fatihah...
Oleh: Ustadz Moamar Elba copas dari Fb : Rijal Mumazziq Z 23 Februari pukul 13:51

IBU AKU TAK BUTUH UANGMU


Langit redup tampak kemerah-merahan, matahari pun beranjak masuk ke peraduan. Sore itu Santo tidak seperti lazimnya anak yang lain. Bersih, wangi dan rapi sore itu, tapi pemandangan itu tak nampak pada tubuh Santo. Kumal, badek, compang-camping dan mbladus. Sampai-sampai goresan ingus nampak terekam di sepanjang tangannya hingga memperkeruh warna bajunya yang putih menjadi kecoklatan. Wajar, dia bocah usia SD kelas 1 di Madrasah Ibtidaiyahnya yang ditinggal orang tuanya. Meski begitu dia bukanlah yatim piatu, ia hanya sesosok replika bocah malang, sebagai korban atas ketidakadilan orang tua kepada anaknya.

Sore itu Hartinah (Ibu Santo) nampak pergi bersama suaminya ke tempat mereka berdua bekerja. Mereka berdua merupakan sekawanan buruh njamangi tembakau di kampung sebelahnya. Seperti yang kita tahu, pekerjaan njamangi tembakau salah satu profesi yang sangat naif bagi anak-anak seusia Santo. Betapa tidak, si penjamang tembakau itu memforsir waktunya, berangkat pagi hingga larut malam bahkan hingga pagi datang kembali, nyaris tak memperhitungkan waktu. Sehingga anak-anak usia SD, tentu akan luput dari pandangan orang tuanya setia hari.
Harusnya sore ba’da asyar itu anak seusia Santo rapi berderet menghadap dampar di tempat ia mengaji.

Santo :”Bu.... pulang Bu... Santo lapaaaar...” ujar Santo tersengut-sengut di depan pintu rumahnya yang sepi.
Bidara :”Ada apa San?” tanya tetangga Santo yang hampir setiap hari dengan sukarela mengurus Santo.
Santo :”Santo belum mandi Bu Lek Da!” Sahut Santo.
Bidara :”Sudah sini ke rumah bu lek saja, nanti ngaji sama Ifan! Gak usah nangis, sini..!”
Meski dengan berat hati akhirnya Santo mengiyakan arahan Bu Bidara.

Di rumah Bu Bidara Santo tampak riang dan betah. Di sana dia lebih kopen serasa mendapat perhatian meskipun Bu Bidara bukanlah siapa-siapanya Santo. Tapi ia tampak masygul, betapa tidak kebahagiaan yang ia harapkan kandas ditelan oleh recehan yang diuber oleh ke-dua orang tuanya, hingga lalai dengan tanggung jawab kepada momongannya sendiri. Dalam sedihnya Santo berkeluh :”Ibu aku tak butuh uangmu namun aku butuh kasih sayang dan perhatianmu” kisik lirih dari bibir bocah kecil tanpa dosa ini.

MAJALAH BULANAN AULA & AULEA



















SIMBAH KIAI RAOYAN MENGGORO, PENGASUH SELAPANAN YANG BANYAK KAROMAH

SIMBAH KIAI RAOYAN MENGGORO, PENGASUH SELAPANAN YANG BANYAK KAROMAH


Membaur dengan budaya dan tradisi. Itulah cara elegan para walisongo mendakwahkan islam di Indonesia, tak terkecuali di tanah Jawa. Banyak tradisi-tradisi yang sengaja dimodifikasi para sesepuh para walisongo beserta para pewaris perjuangannya. Tradisi nyadran misalnya. Tradisi ini merupakan tradisi berkumpul membawa sesaji di bawah pohon yang besar di suatu desa tertentu. Lambat laun tradisi ini tetap dilestarikan namun bergeser dari sisi esensi tradisi sebelumnya. Dari segi tempat yang tadinya di bawah pohon besar dipindah ke serambi masjid. Kemudian dari sesaji diubah menjadi sedekah bagi sesama warga. Kemudian dari isi acara yang diisi dengan siraman rohani berserta bacaan tahlil dan dzikir lainnya. Itulah sekelumit contoh para wali dan penerusnya mengkodifikasikan islam yang mengakomodir budaya tanpa memberangusnya. Selain itu sebutlah ‘selapanan’. Sistem kalender Jawa memakai dua siklus hari: siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari (Ahad sampai Sabtu) dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran (Pon sampai Pahing). Penggunaan hari siklus mingguan dan pekan pancawara kini cukup lazim di tengah masyarakat. Penggunaan dua model hari tersebut cukup masyhur di Jawa. Hingga menjadi acuan banyak kegiatan-kegiatan paruh 35 harian, yang sering kita dengan dengan istilah selapanan. Yakni, setiap hari tertentu dipastikan akan muncul setiap 35 hari ke depan. Kita misalkan hari jum’at kliwon, pasti akan jatuh kembali pasca 34 hari berikutnya.

Berkaitan dengan selapanan. Akhir-akhir ini cukup mafhum menjadi istilah yang cukup latah di tengah masyarakat kita (utamanya kukuban Temanggung dan sekitarnya). Istilah tersebut bermakna lebih spesifik saat ini. Yang tadinya bermakna luas, berarti dari satu hari yang muncul setiap 35 hari berikutnya (senin pon dan sebagainya), menjadi sebuah hari yang diisi dengan pengajian di serambi masjid setiap 35 hari satu kali. Terkesan jauh memang pemaknaan ini, namun inilah fakta di daerah Temanggung dan sekitarnya. Bila masyarakat menyebutkan kata ‘selapanan’ kebanyakan mengartikan pengajian per 35 hari di serambi masjid di desa tertentu. Seperti di desa penulis, dulu pengajian selapanan diisi oleh Simbah Kiai Raoyan(Menggoro), Simbah Kiai Kosim(Greges) dan Simbah KH Zaenuddin (Brongkol) kisaran tahun 90-an. Dan berjalan hingga saat ini berganti generasi yang ke-3 pasca beliau wafat.


Menurut data yang tertera pada KTP Mbah Yan (sebutan Simbah Kiai Raoyan) beliau lahir tahun 1934. Adapun yang tertera pada Kartu Tanda Anggota Nahdlatul Ulama, beliau terlahir tanggal 31 Desember 1934. Beliau merupakan putera pertama dari 5 bersaudara dari Simbah Kiai Asmu’i. Mbah Wawi, Mak Nduk (Pager Gunung Grabag Magelang), Pak Lukman dan Mbah Sidah merupakan ke-4 saudara beliau.  Beliau seangkatan dengan Al Maghfurllah Simbah Kiai Nasukha Utsman, Simbah KH.Cholil Asy’ari Bolong Selopampang (teman mondok di Payaman Magelang yang diasuh oleh Simbah Kiai Siradj Payaman dan sekarang menjadi pengasuh Pondok Pesantren Darul Muttaqien Bolong Selopampang), dan Simbah Ismail (Sempu Secang) beliau putra dari KH Ali1 Secang Magelang.


KARTANU & KTP MBAH YAN



Tempat Mondok Mbah Yan

Mbah Yan pernah nyantri di Tegalrejo Magelang dibawah asuhan Simbah Kiai Chudlori. Beliau merupakan santri angkatan pertama di API Tegalrejo. Almaghfrullah simbah KH Abdurrahman Chudlori --Pengasuh API Tegalrejo setelah Mbah Chudlori-- merupakan momongan beliau semasa kecilnya. Selain disana beliau juga pernah nyantri di Kerten Secang Magelang (asuhan Simbah Kiai Nasroddin), nyantri di Pondok Pirikan Secang, di Pondok Tretek Kediri (asuhan Kiai Juweni), Dremo Kediri, dan juga mondok di Pondok Payaman Magelang (asuhan Simbah Siradj / Romo Agung). Dan beliau berbaiat thoriqoh Sadziliyah kepada Simbah Dalhar Watucongol Muntilan Magelang.

Macam-macam Karomah Mbah Yan

Selamat Dari Kepungan Begal
Ketika perjalanan menuju pesantren, beliau melewati sebuah hutan yang kebetulan 5 begal hendak menghadang. Beliau mencari akal untuk selamat dari hadangan kelima begal tersebut. Beliau melepaskan bajunya, uang dimasukkan kedalam buntalan baju tersebut, dan berlagak seperti orang gila.
“Wah, jebul wong edan! Dijarke wae” kata salah satu begal. (Ternyata orang gila, sudah dibiarkan saja lewat)
Akhirnya kawanan begal tidak menghiraukan lewatnya Raoyan kecil di dalam hutan tersebut. Selamatlah Pak Raoyan dari kubangan begal tersebut.

Melewati Banjir Tanpa Basah
Suatu ketika Bapak Raoyan hendak menuju suatu tempat, yang harus melewati sebuah sungai padahal sungai tersebut sedang dilanda banjir besar.
“Pak, panjenegan lewat mana?” tanya salah satu orang yang kebetulan juga baru saja melewati sungai tersebut.
“Saya lewat sungai tadi!” jawab Bapak Raoyan.
“Apa iya? Kan sekarang baru ada arus yang besar di sungai tadi (baca.banjir).
“Tidak itu, kenyataanya saya bisa lewat sampai disini!” jawab Bapak Raoyan.
Semua orang keheranan.

Membantu Memperlancar Persalinan
Pernah juga, suatu hari beliau makan di sebuah warung meskipun dengan uang saku yang sangat mepet beliau memberanikan diri makan di warung tersebut. Beliau makan seadanya dan memesan cabe untuk dimakan, cukup banyak beliau memakan cabe hingga para pengunjung warung banyak yang keheranan melihat pemandangan yang ganjil itu.
“Wah, ini pasti bukan orang sembarangan, pasti orang sakti” Gumam salah satu pengunjung warung.
Kebetulan dari salah satu pengunjung warung tersebut ada yang memiliki seorang isteri yang hendak melahirkan, namun hampir satu hari penuh bayi tak kunjung keluar.
“Pak, isteri saya mau melahirkan, tapi sampai seharian ini kok belum juga lahir, bolehkan saya meminta do’a untuk itu?” tanya salah satu pengunjung warung.
“Boleh, carikan saya air putih!” perintah Pak Raoyan.
“Baik pak!”
Tak lama kemudian air putih didapat dan langsung diberikan kepada Pak Raoyan.
“Bismillahhirrohmanirrochim” Dengan basmalah tersebut Pak Raoyan menyuwuk air putih tersebut. “Air ini dibawa pulang untuk diberikan kepada isteri sampeyan!” perintah Pak Royan kepada peminta do’a.
“Baik Pak”
Singkat cerita air putih dibawa pulang dan diminum isteri peminta do’a tadi. Tak lama bayi keluar dengan mudahnya. Setelah lahir Pak Raoyan dijemput oleh peminta do’a tadi untuk dipersilahkan mampir ke rumah dan dijamu dengan makanan yang beraneka ragam.

Berjalan Cepat (Ilmu Melipat Bumi)
Pernah juga ketika Simbah Kiai Raoyan sowan kepada seorang Kiai Pasuruan Jawa Timur. Ketika itu yang ‘diderekke’ Putra beliau (Gus Kafi) dan Bapak Khadis Koripan. Waktu itu malam sudah menunjukkan pukul 3. Simbah Kiai Raoyan berniat izin pamit kepada Kiai Pasuruan tersebut.
“Nderek bade pamit Yai!”, kata Simbah Kiai Raoyan. (Saya mohon pamit Kiai!)
“Mangkih riyin Kiai, ampun keseso!”, cegah Kiai Pasuruan. (Nanti dulu Kiai jangan tergesa-gesa)
“Lha meniko dalem kedah ngimami wonten masjid niku Yi!”, desak Simbah Kiai Raoyan. (Saya harus ngimami sholat subuh di masjid Yai)
“Pun njenengan maos niki Kiai!”, sambung Kiai Pasuruan memberikan ijazah do’a dengan membaca ‘Ya Hailushi’2 selama perjalanan, ijazah tersebut diterima dan diamalkan oleh Simbah Kiai Raoyan. (Sudah nanti baca do’a ini Kiai)
Beliau bertiga akhirnya pamit dari rumah Kiai Pasuruan. Setelah itu Simbah Kiai Raoyan berujar kepada Gus Kafi dan Bapak Khadis Koripan.
“Kowe cekelan aku, ojo mlingak-mlinguk ndelok’e mburi”, pesan Simbah Kiai Raoyan. (Kamu pegangan jangan menoleh ke belakang)
Selama perjalanan di dalam bus, seakan di belakang berjelal ramai sekali. Penderek Simbah Kiai Raoyan tidak berani menoleh kebelakang seperti pesan Simbah Kiai Raoyan. Akhirnya tiba beliau bertiga di jogja, setelah itu berjalan seperti diatas trotoar. Menyusuri itu Bapak Khadis Koripan tiba-tiba menoleh, yang akhirnya tertinggal di jogja. Adzan subuh persis Simbah Kiai Raoyan dan Gus Kafi sampai di jalan masuk desa Menggoro.
Dari cerita tersebut Simbah Kiai Raoyan mampu berjalan kilat dari Pasuruan pukul 3 pagi sampai Menggoro Tembarak menjelang subuh.
Ketika berziarah ke makam tanggung tlogomulyo, malam itu Pak Raoyan mengaja Bu Ning (Isterinya).
Mbah Raoyan berpesan :”Mengko sak durunge pitung jangkahan ojo nglingak-nglinguk” (Sebelum tujuh langkah, jangan menoleh ke belakang) perintah Simbah Raoyan kepada isterinya.
“O gih!” jawab Bu Ning.
Perjalanan tersebut ditempuh melewati beberapa desa. Selama perjalanan tak ada satupun orang yang menyapa seperti biasanya, padahal beliau berdua juga berpapasan dengan banyak orang selama perjalanan.
Satu minggu berikutnya beliau bedua kembali berziarah ke makam tanggung lagi, seperti satu minggu sebelumnya Simbah Raoyan juga berpesan. :”Mengko sak durunge pitung jangkahan ojo nglingak-nglinguk” (Sebelum tujuh langkah, jangan menoleh ke belakang) perintah Simbah Raoyan kepada isterinya.
“O gih!” jawab Bu Ning.
Perjalanan tersebut ditempuh lama sekali, yang akhirnya menimbulkan rasa penasaran Simbah Raoyan.
“Opo mau sampeyan mlinguk? Tanya Simbah Raoyan. (Apa kamu menengok ke belakang?)
“Enggih pak! Kulo panci penasaran, ngih kulo saestu nyuwun pengapunten, monggo kulo nderek mawon menawi bade dipun dukani!” jawab Bu Ning dengan jujur. (Iya pak, saya memang menegok ke belakang karena saya penasaran, saya minta maaf, silahkan kalau saya mau dimarahai karena saya memang salah)
Lantaran itu perjalanan ditempuh hingga berjam-jam, tidak seperti seminggu sebelumnya.
Suatu hari ada tamu yang bermaksud sowan kepada Simbah Raoyan. Bu Ning dan Mbah Raoyan berpapasan, Bu Ning mengambil sandal dari luar dan Simbah Raoyan mengambil sandal dari dalam, beliau hendak keluar rumah dan berpapasan di dalam rumah beliau, selang kisaran 1 menit berikutnya ada suara ketukan pintu dan salam dari tamu tersebut. “Assalamu’alaikum” ucap tamu beruluk salam.
“Wa’alikum salam” jawab Bu Ning yang ada di dalam rumah.
“Simbah Raoyan wonten bu?” Tanya sang tamu. (Simbah Raoyan ada Bu?)
“Lha, nembe niki mawon mendet sandal, dereng wonten 1 menit niki, bopo boten papsan?” jawab Bu Ning. (Barusan ini di rumah ngambil sandal, belum ada 1 menit, apa tidak ketemu berpapasan?)
“Boten Bu”, jawab tamu. (Tidak Bu)
Bu Ning bertanya kepada para santri dan tak ada yang tahu keberadaan Simbah Raoyan, setelah dicari akhirnya ketemu di sebuah warung pasar Gondang yang berjarak hampir 1 KM, di warung tersebut beliau sudah menghabiskan 1 piring nasi, padalah belum ada 1 menit meninggalkan rumah.
Pernah ketika malam, Simbah Raoyan sedang mengisi pengajian selapanan. Simbah Raoyan pulang.
“E, Mbah Yan kok wis kundur, kok cepet temen, tindak’an raono sing nderekke.” Gumam Bu Ning keheranan. (E, Mbah Yan kok sudah pulang, kok cepat sekali, berjalan tidak ada yang megantar) Bu Ning tidak menanyakan alasan mengapa Simbah Raoyan pulang lebih cepat.
Selang tengah malam Simbah Raoyan pulang dari pengajian selapanan, lantas Bu Ning menanyakan alasan kepulangan lebih awal tadi.
“Lha, pak kok wau kundur gasik keng nopo? Nopo wonten ingkang ketilar?”, tanya Bu Ning. (Lha, kok tadi pulang lebih awal kenapa? Apa yang barang yang tertinggal?)
“Bali? aku ora bali?” jawab Simbah Raoyan. (Pulang? saya tadi tidak pulang?)
“Ha njur sinten sing kundur wau niko?”, jawab Bu Ning penasaran. (Ha, lantas siapa tadi yang pulang itu?)

Diberi Bantuan Mbah Nyai Brintik
Ketika suatu malam Simbah Raoyan membaca al Qur’an, ada seorang tamu mengetuk pintu. Tamu tersebut datang membawa uang Rp 25.000,- untuk memperbaiki pesantren yang sudah hampir rusak, tamu tersebut ialah Simbah Nyai Brintik seorang Wali yang dimakamkan di makam Jogopati Tembarak, beliau merupakan salah satu santri dari Sunan Kalijogo.
“Assalamu’alaikum ..”.
“Wa’alaikumsalam ..”.
“Monggo pinarak ..”.
“Meniko kulo aturi arto Rp 25.000,- kagem modal pondok, kulo Nyai Brintik”.

Mengisi Pengajian Selapanan Dengan Berjalan Kaki
Setiap jadwal pengajian selapanan Mbah Yan selalu mengajak Mbah Hayen. Setiap jam 11 siang beliau datang untuk menghampiri Mbah Hayen. Kadang kala Mbah Hayen masih di sawah dan beliau menunggu dengan sabar. Adakalanya putra Mbah Yan (Gus Kafi) sering ikut ‘klayu’ dan akhirnya ditinggal dirumah Mbah Hayen, lambat laun karena kebiasaan itu hingga kini silaturahim tetap dilestarikan seperti saudara sendiri. Lumayan banyak pengajian selapanan yang diasuh Mbah Raoyan diantaranya dusun Ngaglik, Krajan, Dukuh Mudal, Jurang Jero, Ngawen, Jokopati, Keron, Klumpit, Tengon, Jragan, Sembir, Botoputih, Bendan dan beberapa tempat yang belum terdeteksi oleh penulis.
Dalam berbagai hal, Simbah Raoyan menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, tanpa kendaraan ataupun hewan tunggangan. Baik itu menuju ziarah maupun mengisi pengajian selapanan. Entah siang maupun malam. Setiap jalan beliau telusuri demi dakwah menyebarkan islam kepada masyarakat, dan biasanya beliau lebih memilih jalan terabas (bukan jalan utama). Entah memang zaman yang belum mengfasilitasi kendaraan ataukah itu sengaja beliau lakukan dalam rangka tirakat atau alasan lain, kami belum menemukan alasan tersebut secara pasti. Dari kebiasan jalan kaki tersebut Alloh mengaruniai beberapa karomah yang dilekatkan pada pribadi Simbah Kiai Raoyan. Suatu hari selepas mengisi pengajian selapanan di dusun Sembir. Hari sudah larut dan diselingi hujan lebat, malam itu juga Mbah Yan yang ditemani Mbah Hayen pulang berjalan kaki melewati 6 dusun, dusun Sembir-Kuncen-Tagung-Malangan-Singang-Ndalem-Jlamprang-Menggoro, sesampainya di dusun Tagung Botoputih terdapat sungai yang harus dilewati beliau berdua. Banjir besarpun tak terelakkan memenuhi badan sungai.
“Pak Yan, teng lepen tagung mesti mawon banjir wong ket wau jawoh boten kendel”, kata Mbah Hayen. (Pak Yan, di sungai tagung pasti saja banjir karena dari tadi hujan belum selesai)
“Wis meneng wae kang hayen, teko mengko melu aku”. Sahut Mbah Yan menjawab kata Mbah Hayen. (Sudah kamu diam saja, nanti tinggal ikut saya)
Benar perkiraan Mbah Hayen, sungai tagung penuh dengan air banjir yang mustahil di lewati dengan jalan kaki.
“Niko Pak Yan banjire!”, kata Mbah Hayen sambil merinding. (Itu Pak Yan benar-benar banjir)
“Wis meneng wae!”, lagi-lagi Mbah Yan menimpali Mbah Hayen. (Sudah kamu diam saja!)
Selesai menjawab pertanyaan Mbah Hayen, tiba-tiba mata Mbah Hayen takjub bukan kepalang, dalam satu kedipan mata beliau berdua sudah sampai di dusun Malangan (sebelah selatan dusun Tagung) melewati banjir di sungai tagung tanpa basah sedikitpun.
“Kae Kang Hayen nek ndelok banjir!”, kata Mbah Yan sebagai penanda bahwa beliau berdua telah melewati sungai tagung. (Itu Kang Hayen kalau mau lihat banjir!)
Tak hanya berziarah dan mengisi pengajian saja Beliau lakukan dengan jalan kaki. Rupanya Simbah Kiai Raoyan juga berjalan kaki untuk mengikuti pengajian bersama Mbah Mangli (KH.Hasan Asy’ari Mangli Ngablak Magelang). Hal ini beliau lakukan bersama dengan Mbah Hayen selama 6,5 tahun. 1,5 tahun beliau berdua berjalan dan 4 tahun ditempuh dengan sepeda onthel. Bahkan menghabiskan 4 sepeda onthel ketika itu bersama Mbah Hayen.

Gemar berziarah kubur ke makam Auliya’
Mbah Yan merupakan sosok Kiai yang sangat gemar berziarah ke makam wali. Diantara ziarah yang beliau wiridkan ialah ke Ke makam Mbah Nyai Brintik di Jokopati Tembarak dan Makam Wali Tanggung Tlogomulyo. Beliau itu lakukan tiap hari senin, baik siang ataupun malam hari. Karena menurut beliau para wali setiap hari jum’at semua wali berangkat ke Makkah.

Mendidik Santri
Selain berdakwah dengan media pengajian selapanan, Mbah Yan juga mendidik beberapa santri di Pondok Pesantrennya. Beliau mendirikan Pondok sebelah Masjid Jami’ Menggoro. Dalam mendidik santrinya Mbah Raoyan tidak hanya memberikan pengajian kitab kuning saja, beliau juga mendidik santri dengan jalan ‘tirakat’. Pernah keenam santrinya disuruh untuk puasa mutih selama 7 hari, berbuka dengan waluh dan hanya makam ketela pohon. Malamnya berziarah dan mujahadah di makam wali jokopati adapun ketika pagi pulang ke rumah Mbah Hayen Ndalem. Keeman santri beliau itu adalah Bapak Usup Kandangan, Bapak Khoiri Kediri (alm),  Bapak Fathoni Klumpit, Bapak Umar Kasihan, Bapak Baidhowi Gambasan, dan Bapak Tamzis Greges. Selain itu pernah juga beberapa orang yang pernah nyantri kepada beliau yakni Bapak Ansori Menggoro (Lurah Pondok), Bapak Imron (Menantu), Bapak Khayen (Ngenden), Bapak Aspar (Menggoro) serta yang lainnya. 


Foto K.RAOYAN ketika berusia 50 Tahun



Mbah Yan Kapundut

Ketika itu bulan Syawwal. Simbah Raoyan berpuasa sunnah 6 hari setelah iedul fitri. Salah satu makanan pembuka favorit beliau adalah kolak tape. Karena masih dalam suasana lebaran tentu saja masih jarang orang berjualan tape di pasar Gondang Tembarak. Saking butuhnya beliau nekat mencari tape di pasar Selopampang –karena pasar Selopampang lebih besar daripada pasar Gondang—berharap ada di pasar tersebut. Naas, sesampai beliau masuk ke kampung (Menggoro) beliau terjatuh setelah turun dari angkot. Beberapa warga membawa beliau ke rumah. Selepas itu beliau jatuh sakit selama 10-an hari. Hari demi hari hingga 7 hari kemudian sakit semakin parah. Hampir 3 harinan beliau enggan untuk makan dan minum.
Innalillahi wa innailaihi rooji’uun. Tepat 14 Syawwal 1417 Hijriyah (22 Februari 1997 Masehi3) beliau meninggalkan keluarga dan santrinya, beliau dipanggil kedapa Alloh swt. Bertepatan 14 Syawwal tersebut hingga kini dilestarikan sebagai Haul tahunan untuk beliau.
Semasa hidupnya beliau Kiai pengamal sholawat Nabi, maka tak heran bila ada tamu peminta ijazah, pasti akan diberi ijazah bacaan Sholawat Nabi1000 X setiap harinya. Beliau meninggalkan 1 isteri dan 7 putra.
Semoga menginspirasi kita sebagai santri.

MAKAM K.RAOYAN & IBU KHOLIFAH (ISTERI) KE-1


MASJID MENGGORO DEPAN RUMAH MBAH YAN


KARTU PENGIKUT THORIQOH SADZILIYAH WATUCONGOL



SARUNG PENINGGALAN MBAH YAN



Foot note :
1. Simbah KH Ismail (Sempu Secang) beliau putra dari KH Ali Secang Magelang yang memiliki silsilah Thoriqoh Qadiriyyah wa Naqsyabndiyyah jalur dari simbah KH Shiddiq Zarkasyi Berjan Purworejo. (Mengenal KH Nawawi Berjan Purworejo Khalista Surabaya hal.170).
2. Bahasa Ibrani.
3. Penanggalan dihitung mundur dengan alat bantu aplikasi kalender hand phone.
4. Ijazah tersebut bacaan sholawat dengan lafadz : “Allohumma Sholli ‘ala Muhammad” 1000 x setiap hari tidak harus satu majelis.
Sumber :
1. Wawancara dengan Simbah Hayen Imam Masjid Ndalem Jokopati Tawangsari Tembarak, Pada 4 Desember 2016 di kediaman beliau.
2. Wawancara dengan Bu Ning. Beliau isteri ke-dua Mbah Yan yang tinggal di sebelah barat rumah Mbah Yan di Menggoro Tembarak. Pada 27 Desember 2016 di kediaman beliau.
4. Wawancara dengan Gus Kafi beberapa kali.
5. Sumber lainnya.

DIDIN DAN AINI PIMPIN RANTING IPNU IPPNU JRAGAN

PROSESI PEMILIHAN KETUA Temanggung (25/12) bertempat di TPQ Kiai Juragan Desa Jragan Kecamatan Tembarak tak kurang dari 50 kader m...