Kiai Subkhi lahir di Parakan Kauman, Temanggung, sekitar tahun 1855. Kiai
Subkhi adalah putra sulung KH. Harun Rasyid, seorang penghulu masjid di
desanya, dengan nama kecil Muhammad Benjing. Setelah berumah tangga beliau
berganti nama menjadi Somowardojo. Setelah naik haji beliau berganti nama lagi
untuk kedua kalinya menjadi Subkhi. Ketika masih bayi dalam gendongan ibunya,
beliau dibawa mengungsi dari kejaran tentara Belanda dari satu desa ke desa
lainnya. Maklum, waktu itu kakeknya, Kiai Abdul Wahab, putra Tumenggung Bupati
Suroloyo Mlangi, Yogyakarta, adalah salah seorang anggota pasukan Pangeran
Diponegoro yang ikut dalam Perang Jawa (1825-1830) melawan penjajahan Belanda.
Kiai Haji Subkhi adalah pengasuh Pesantren Parakan Kauman, Kecamatan
Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Beliau terkenal sebagai “Kiai Bambu
Runcing” tempat ribuan pejuang kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 menimba ilmu
dan doa-doa untuk senjata mereka sebelum terjun ke medan laga. Menurut H.
Anasom, M.Hum, peneliti sejarah dari IAIN Walisongo Semarang, Kyai Subkhi
adalah pelopor penggunaan Bambu Runcing sebagai senjata perjuangan melawan
penjajah Belanda.
Sisa-sisa pasukan Diponegoro usai penangkapan sang pangeran di tahun 1830
berpencar di beberapa tempat melanjutkan perlawanan di desa-desa sambil
menghindar dari kejaran tentara Belanda. Termasuk kakek beliau yang
mengundurkan diri bergerak menyusuri Kali Progo melalui daerah Sentolo, Godean,
Borobudur, Bandongan, Secang, Temanggung, hingga akhirnya ke Parakan, sebuah daerah
di bawah Gunung Pengantin, Sindoro-Sumbing. Daerah dataran tinggi ini menjadi
tempat bertemunya sisa-sisa prajurit Diponegoro dari berbagai daerah. Tidaklah
mengherankan jika penduduk Parakan mempunyai unsur kebudayaan yang bercampur
antara ketulusan rakyat Banyumas, kesabaran rakyat Kedu, keberanian rakyat
Pekalongan, dan keterampilan rakyat Semarang. Karakter kebudayaan seperti
inilah yang diwarisi keluarga Kiai Subkhi.
Sejak kecil Kiai Subkhi dididik oleh ayahnya langsung dalam disiplin
keagamaan yang tinggi. Setelah itu beliau nyantri di Pondok Pesantren
Sumolangu, Kebumen, Jawa Tengah, di bawah asuhan Syekh Abdurrahman (ayahanda
Kiai Mahfudh Somalangu yang terkenal itu).
Setelah Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada tahun 1926, Kiai Subkhi lalu ikut
mendirikan NU di Temanggung, bersama beberapa kiai lainnya. Beliau menjabat
sebagai Rais Syuriyah Pengurus Cabang NU Temanggung, didampingi KH. Ali
(pendiri Pesantren Zaidatul Ma’arif Parakan) sebagai wakil rais dan KH. Raden
Sumomihardho (ayahanda KH. Muhaiminan Gunardo, wafat 1946) sebagai
sekretarisnya. Sementara KH. Nawawi (wafat 1968) bertindak sebagai ketua
tanfidziyah pertama. Keempat ulama perintis NU Temanggung inilah yang kemudian
dikenal sebagai “Kiai-kiai Bbambu Runcing” di masa revolusi kemerdekaan.
Kiai Subkhi juga menaruh perhatian besar terhadap kaderisasi anak muda NU
melalui Anshor NU (waktu itu disingkat ANO). KH. Saifuddin Zuhri misalnya
menginformasikan bahwa sewaktu menjadi instruktur pengkaderan Anshor di
Temanggung sekitar tahun 1941, menteri agama di era Sukarno ini menjumpai Kiai
Subkhi juga ikut mendampingi anak-anak muda NU itu selama kegiatan kaderisasi –
meski saat itu usia beliau sudah tergolong sepuh.
Ide Keadilan Sosial Kiai Subkhi
Untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya, beliau menggarap sawah dan
bercocok tanam padi dan beberapa tanaman produktif lainnya. Tidak heran kalau
beliau sukses sebagai petani, hingga dikenal kiai yang kaya. Tanahnya ada di
mana-mana, terlebih di sekitar Kauman. Tapi kekayaan tersebut tidak membuat beliau
kikir. Masyarakat sekitar Parakan juga mengenal beliau sebagai pemurah dan suka
membantu orang-orang yang kesusahan. Jiwa sosialnya tinggi. Di usia tuanya,
tanah-tanah itu diberikan kepada penduduk sekitar yang tidak mampu dalam bentuk
kontrak musyarakah atau sistem bagi hasil. Hasilnya dibagi dua antara beliau
sebagai pemilik tanah dan pihak penggarap tanah. Kadang hasilnya berupa
keuntungan dalam bentuk cash, kadang juga dalam bentuk pembagian tanah.
Kiai Subkhi memberi keuntungan yang terakhir ini kepada orang-orang yang tidak
punya tanah. Inilah ide awal beliau tentang keadilan sosial dan kekeluargaan.
Menurut Kiai Subkhi, tidak ada artinya berbicara kesejahteraan, pemerataan
pendapatan atau keadilan sosial kalau warga Indonesia tidak punya alat produksi
berupa tanah. Dan tanah itu harus dibagi bersama dengan mempertimbangkan aspek
kekeluargaan sesama warga Indonesia. Dari sini kemudian muncul ide tentang
tanah berfungsi sosial yang menjadi inti ide sosialisme atau distribusi
pendapatan. Dan praktik musyarakah (bagi hasil) yang sudah dikenal
bangsa kita sejak berabad-abad merupakan instrumen utama untuk mewujudkan
distribusi atau pemerataan pendapatan itu.
Seorang wartawan Amerika yang kemudian menjadi sarjana politik terkemuka,
George McTurnan Kahin, dalam memoarnya berjudul Southeast Asia: A Testament
(2003), pernah bertemu dengan Kiai Subkhi. Mereka berdua berdiskusi tentang
tatanan sosial-politik yang adil, termasuk ide sosialisme yang digali dari
dalam tradisi pesantren itu. Seperti ide tentang musyarakah – yang
kemudian bermetamorfosa menjadi “masyarakat” dalam bahasa kita. Waktu itu
Kahin, yang mengkader banyak mahasiswa Indonesia di Cornell dalam ilmu politik,
datang bersama Roeslan Abdulgani, menjabat Sekjen Departemen Penerangan, ke
Parakan pada minggu pertama Desember 1948. Ide Kiai Subkhi tentang musyarakah
(kerja sama yang berkeadilan sosial) ini kemudian diwujudkan oleh para pendiri
bangsa ini (founding fathers) ke dalam konstitusi negara baru kita dalam Pasal
33 ayat satu: “Perekonomian disusun berdasarkan usaha bersama atas asas
kekeluargaan”.
Kiai Bambu Runcing
Di masa-masa awal revolusi kemerdekaan Indonesia, setiap hari ada ribuan
pejuang bambu runcing yang sowan kepada Kia Subkhi di Parakan, untuk menuju ke
front-front pertempuran di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan ada yang datang
dari Jawa Barat. Tujuan utama para tamu ini adalah bertemu dengan Kiai Subkhi
untuk meminta doa dan barakah beliau, termasuk meminta perkenan beliau untuk
“menyuwuk” bambu runcing yang akan dibawa perang oleh para anggota laskar
rakyat yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air.
Menjelang pertempuran Ambarawa di bulan Desember 1945, Panglima Divisi V
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Kolonel Sudirman, sebelum menjadi Panglima Besar
setahun kemudian, juga sempat singgah dari markasnya di Purwokerto ke markas
BMT (Barisan Muslimin Temanggung) di Parakan dalam perjalanan menuju perang
Ambarawa. Beliau sempat sowan dan minta barakah kepada Kiai Subkhi. Mantan
Menteri Agama pada era Sukarno, Kiai Saifudin Zuhri menyebut kedatangan Kolonel
Soedirman beserta pasukannya membawa peralatan tempur lengkap. Itu terjadi
setelah bawahan beliau, Letnan Kolonel Isdiman, selaku komandan pasukan TKR,
gugur dalam pertempuran Ambarawa melawan Sekutu pada tanggal 26 November 1945.
Komando pertempuran Ambarawa lalu diambil-alih oleh tentara kader PETA ini.
Mungkin karena keberkahan kiai Parakan ini, konon dalam cerita masyarakat,
Jenderal Sudirman setiap kali akan terjun ke medan laga, terlebih dahulu mencari
sumur warga untuk mengambil air wudhu.
Peran Kiai Subkhi seperti ini kemudian menjadi incaran tentara Belanda.
Dalam agresi militer kedua yang dilancarkan Belanda pada Desember 1948, mereka
memasuki kota Parakan dan menggebrak rumah beliau. Kiai Subkhi sempat
menyelamatkan diri dan mengungsi keluar kota bersama beberapa kiai. Namun putra
beliau, Kiai Abdurrahman, gugur tertembak setelah melakukan perlawanan. Ia
merupakan syuhada pertama sejak Gerakan Bambu Runcing dari Kauman
Parakan digelar. Presiden Sukarno kemudian menganugerahinya gelar pahlawan.
Didorong oleh semangat “Jihad fi Sabilillah” untuk mempertahankan tiap
jengkal tanah air, dan didasarkan atas kasih sayang kepada anak-anak dan
cucu-cucunya, Kiai Subkhi memberikan bekal berupa do’a kepada anak-anak
“Hizbullah” maupun “Sabilillah” Parakan. Sebelum mereka berangkat ke
pertempuran, sambil berbaris dengan bambu runcingnya masing-masing, mereka
diberkahi oleh Kiai Subkhi dengan do’a khusus “Laa Tudrikuhul Absar Wahuwa Yudrikuhul
Absar Wahuwa Latiful Kabir,” dengan tiga kali membaca sembari menahan nafas.
Atas kehendak Allah, doa (syuwuk) Kiai Subkhi yang diberikan kepada para
pejuang yang menggunakan sejata Bambu Runcing untuk melawan penjajah, terbukti
ampuh, sehingga dapat mengalahkan tentara Sekutu yang menggunakan senjata api.
Kisah heroik inilah yang menjadikan Kiai Subkhi terkenal sebagai “Kiai Bambu
Runcing”.
Sumber :
1. Drs. H. Anasom M.Hum, Kiai dan Bambu Runcing; Mengungkap Peran Sejarah Kiai dan Bambu Runcing Pada Masa Perang Kemerdekaan (Kajian Sejarah Lesan), 2012
2. Ahmad Adaby Darban: Fragmenta Sejarah Islam Indonesia, 2008.
3. Tulisan ini dipublikasikan bertepatan dengan kegiatan Sarasehan Pengusulan Kiai Subukhi Parakan sebahai Pahlawan Nasional Tahun 2016, di Pendopo Pengayoman Temanggung.