Sabtu, 01 April 2017

SEPARUH WINDU KAU BERKUMANDANG

Sebuah impian memang terkadang bisa mengambil peran sebagai kabar langit. Entah masuk akal ataupun tidak dari impian tersebut. Alloh selalu mendengar do’a kita, karena kita sangat mafhum bahwa tak ada do’a yang tak mustajab. Dia pasti mengijabah do’a setiap hambanya. Entah dalam keadaan sirri ataupun ta’yin. Apalagi do’a yang terucap. Alloh-pun tahu dengan bisikan dalam hati kita. Namun kita diberi perintah untuk memanjatkan do’a sebagai bukti penghambaan kita kepada sang khaliq. Cukup seperti itu.

Empat tahun sudah berlalu, pasti Anda bertanya, apakah itu? Ya, empat tahun mengudaranya radio yang digagas muda-muda NU di Temanggung. Lintas kader, ya lintas kader dan lintas generasi, generasi muda juga generasi ‘sepuh’. Semua bersatu manunggal dalam impian yang sama. Alumni IPNU, alumni PMII yang kebetulan terwadahi dalam sebuah wadah KM9.

SANTIKA FM. Tak banyak yang tahu kepanjangan dari nama tersebut. Banyak orang menanyakan nama yang dirasa cukup feminim. “Kok Santika?” tanya Gus Mus ketika di’sowani’ crew beberapa bulan yang lalu. “Niku kepanjangan saking Swara Nawa Kartika, mbah” jawab Gus Shodiq Ngadirejo saat itu.

Nama Santika muncul kala pertemuan beberapa pengurus yang merumuskan nama dalam rangka melengkapi beberapa persyaratan pendirian radio. Gus Furqon, Pak Ikin, Pak Nurdin, dan penulis. Nama tersebut berkat usulan dari Pak Ikin, dan kebetulan rapat terbatas tersebut diadakan dikediaman beliau, Kauman Parakan. Swara Nawa Kartika hingga diakronimkan menjadi Santika. Nama tersebut sebenarnya sudah cukup mudah untuk diambil kepahamannya. Swara itu artinya Suara, Nawa itu berarti Sembilan, dan Kartika itu berarti Bintang. Bila kita gabung menjadi Suara Bintang Sembilan. Filosifi bintang sembilan kita nisbatkan kepada Nahdlatul Ulama. Dari nama tersebut tentu saja para pendiri dan pengagas radio ini sangat berharap menjadi Radio penyampai dakwah Nahdlatul Ulama. Apalah arti sebuah nama. Bagi tradisi NU nama bisa diambil sebagai kaca benggala bagi sang empunya nama. Ketika nama tersebut disodorkan kepada Jam’iyyah, pro kontra tak dapat terelakkan. Namun inilah sebuah dinamika. Para pendiri beranggapan ini sebagai bentuk iktiyar siyasah dakwah NU. Sehingga bila nama kita samarkan, kita berharap pendengan segmen umum akan menjadi penikmat radio kita, termasuk yang kurang sejalan dengan NU.

Tak terasa empat tahun berlalu. Perhelatan kita masih berjalan. Ada pula yang beranggap tiga tahun. Ini karena empat tahun secara De facto dan tiga tahun secara De jure. Dalam ultah tahun ini kita semua sangat berharap. Eksistensi radio kita akan naik, yang diimbangi dengan managemen profesional menuju radio yang figth.
Selamat Ultah yang ke-3 radioku. Tetap berkhidmat mensyi’arkan islam yang ramah. Dan islam yang rahmatan lil ‘alamin.


Temanggung, 2 April 2017

Biografi KH. Subkhi Jenderal Bambu Runcing

Kiai Subkhi lahir di Parakan Kauman, Temanggung, sekitar tahun 1855. Kiai Subkhi adalah putra sulung KH. Harun Rasyid, seorang penghulu masjid di desanya, dengan nama kecil Muhammad Benjing. Setelah berumah tangga beliau berganti nama menjadi Somowardojo. Setelah naik haji beliau berganti nama lagi untuk kedua kalinya menjadi Subkhi. Ketika masih bayi dalam gendongan ibunya, beliau dibawa mengungsi dari kejaran tentara Belanda dari satu desa ke desa lainnya. Maklum, waktu itu kakeknya, Kiai Abdul Wahab, putra Tumenggung Bupati Suroloyo Mlangi, Yogyakarta, adalah salah seorang anggota pasukan Pangeran Diponegoro yang ikut dalam Perang Jawa (1825-1830) melawan penjajahan Belanda.
Kiai Haji Subkhi adalah pengasuh Pesantren Parakan Kauman, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Beliau terkenal sebagai “Kiai Bambu Runcing” tempat ribuan pejuang kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 menimba ilmu dan doa-doa untuk senjata mereka sebelum terjun ke medan laga. Menurut H. Anasom, M.Hum, peneliti sejarah dari IAIN Walisongo Semarang, Kyai Subkhi adalah pelopor penggunaan Bambu Runcing sebagai senjata perjuangan melawan penjajah Belanda.
Sisa-sisa pasukan Diponegoro usai penangkapan sang pangeran di tahun 1830 berpencar di beberapa tempat melanjutkan perlawanan di desa-desa sambil menghindar dari kejaran tentara Belanda. Termasuk kakek beliau yang mengundurkan diri bergerak menyusuri Kali Progo melalui daerah Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang, Temanggung, hingga akhirnya ke Parakan, sebuah daerah di bawah Gunung Pengantin, Sindoro-Sumbing. Daerah dataran tinggi ini menjadi tempat bertemunya sisa-sisa prajurit Diponegoro dari berbagai daerah. Tidaklah mengherankan jika penduduk Parakan mempunyai unsur kebudayaan yang bercampur antara ketulusan rakyat Banyumas, kesabaran rakyat Kedu, keberanian rakyat Pekalongan, dan keterampilan rakyat Semarang. Karakter kebudayaan seperti inilah yang diwarisi keluarga Kiai Subkhi.
Sejak kecil Kiai Subkhi dididik oleh ayahnya langsung dalam disiplin keagamaan yang tinggi. Setelah itu beliau nyantri di Pondok Pesantren Sumolangu, Kebumen, Jawa Tengah, di bawah asuhan Syekh Abdurrahman (ayahanda Kiai Mahfudh Somalangu yang terkenal itu).
Setelah Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada tahun 1926, Kiai Subkhi lalu ikut mendirikan NU di Temanggung, bersama beberapa kiai lainnya. Beliau menjabat sebagai Rais Syuriyah Pengurus Cabang NU Temanggung, didampingi KH. Ali (pendiri Pesantren Zaidatul Ma’arif Parakan) sebagai wakil rais dan KH. Raden Sumomihardho (ayahanda KH. Muhaiminan Gunardo, wafat 1946) sebagai sekretarisnya. Sementara KH. Nawawi (wafat 1968) bertindak sebagai ketua tanfidziyah pertama. Keempat ulama perintis NU Temanggung inilah yang kemudian dikenal sebagai “Kiai-kiai Bbambu Runcing” di masa revolusi kemerdekaan.
Kiai Subkhi juga menaruh perhatian besar terhadap kaderisasi anak muda NU melalui Anshor NU (waktu itu disingkat ANO). KH. Saifuddin Zuhri misalnya menginformasikan bahwa sewaktu menjadi instruktur pengkaderan Anshor di Temanggung sekitar tahun 1941, menteri agama di era Sukarno ini menjumpai Kiai Subkhi juga ikut mendampingi anak-anak muda NU itu selama kegiatan kaderisasi – meski saat itu usia beliau sudah tergolong sepuh.
Ide Keadilan Sosial Kiai Subkhi
Untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya, beliau menggarap sawah dan bercocok tanam padi dan beberapa tanaman produktif lainnya. Tidak heran kalau beliau sukses sebagai petani, hingga dikenal kiai yang kaya. Tanahnya ada di mana-mana, terlebih di sekitar Kauman. Tapi kekayaan tersebut tidak membuat beliau kikir. Masyarakat sekitar Parakan juga mengenal beliau sebagai pemurah dan suka membantu orang-orang yang kesusahan. Jiwa sosialnya tinggi. Di usia tuanya, tanah-tanah itu diberikan kepada penduduk sekitar yang tidak mampu dalam bentuk kontrak musyarakah atau sistem bagi hasil. Hasilnya dibagi dua antara beliau sebagai pemilik tanah dan pihak penggarap tanah. Kadang hasilnya berupa keuntungan dalam bentuk cash, kadang juga dalam bentuk pembagian tanah. Kiai Subkhi memberi keuntungan yang terakhir ini kepada orang-orang yang tidak punya tanah. Inilah ide awal beliau tentang keadilan sosial dan kekeluargaan.
Menurut Kiai Subkhi, tidak ada artinya berbicara kesejahteraan, pemerataan pendapatan atau keadilan sosial kalau warga Indonesia tidak punya alat produksi berupa tanah. Dan tanah itu harus dibagi bersama dengan mempertimbangkan aspek kekeluargaan sesama warga Indonesia. Dari sini kemudian muncul ide tentang tanah berfungsi sosial yang menjadi inti ide sosialisme atau distribusi pendapatan. Dan praktik musyarakah (bagi hasil) yang sudah dikenal bangsa kita sejak berabad-abad merupakan instrumen utama untuk mewujudkan distribusi atau pemerataan pendapatan itu.
Seorang wartawan Amerika yang kemudian menjadi sarjana politik terkemuka, George McTurnan Kahin, dalam memoarnya berjudul Southeast Asia: A Testament (2003), pernah bertemu dengan Kiai Subkhi. Mereka berdua berdiskusi tentang tatanan sosial-politik yang adil, termasuk ide sosialisme yang digali dari dalam tradisi pesantren itu. Seperti ide tentang musyarakah – yang kemudian bermetamorfosa menjadi “masyarakat” dalam bahasa kita. Waktu itu Kahin, yang mengkader banyak mahasiswa Indonesia di Cornell dalam ilmu politik, datang bersama Roeslan Abdulgani, menjabat Sekjen Departemen Penerangan, ke Parakan pada minggu pertama Desember 1948. Ide Kiai Subkhi tentang musyarakah (kerja sama yang berkeadilan sosial) ini kemudian diwujudkan oleh para pendiri bangsa ini (founding fathers) ke dalam konstitusi negara baru kita dalam Pasal 33 ayat satu: “Perekonomian disusun berdasarkan usaha bersama atas asas kekeluargaan”.
Kiai Bambu Runcing
Di masa-masa awal revolusi kemerdekaan Indonesia, setiap hari ada ribuan pejuang bambu runcing yang sowan kepada Kia Subkhi di Parakan, untuk menuju ke front-front pertempuran di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan ada yang datang dari Jawa Barat. Tujuan utama para tamu ini adalah bertemu dengan Kiai Subkhi untuk meminta doa dan barakah beliau, termasuk meminta perkenan beliau untuk “menyuwuk” bambu runcing yang akan dibawa perang oleh para anggota laskar rakyat yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air.
Menjelang pertempuran Ambarawa di bulan Desember 1945, Panglima Divisi V Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Kolonel Sudirman, sebelum menjadi Panglima Besar setahun kemudian, juga sempat singgah dari markasnya di Purwokerto ke markas BMT (Barisan Muslimin Temanggung) di Parakan dalam perjalanan menuju perang Ambarawa. Beliau sempat sowan dan minta barakah kepada Kiai Subkhi. Mantan Menteri Agama pada era Sukarno, Kiai Saifudin Zuhri menyebut kedatangan Kolonel Soedirman beserta pasukannya membawa peralatan tempur lengkap. Itu terjadi setelah bawahan beliau, Letnan Kolonel Isdiman, selaku komandan pasukan TKR, gugur dalam pertempuran Ambarawa melawan Sekutu pada tanggal 26 November 1945. Komando pertempuran Ambarawa lalu diambil-alih oleh tentara kader PETA ini. Mungkin karena keberkahan kiai Parakan ini, konon dalam cerita masyarakat, Jenderal Sudirman setiap kali akan terjun ke medan laga, terlebih dahulu mencari sumur warga untuk mengambil air wudhu.
Peran Kiai Subkhi seperti ini kemudian menjadi incaran tentara Belanda. Dalam agresi militer kedua yang dilancarkan Belanda pada Desember 1948, mereka memasuki kota Parakan dan menggebrak rumah beliau. Kiai Subkhi sempat menyelamatkan diri dan mengungsi keluar kota bersama beberapa kiai. Namun putra beliau, Kiai Abdurrahman, gugur tertembak setelah melakukan perlawanan. Ia merupakan syuhada pertama sejak Gerakan Bambu Runcing dari Kauman Parakan digelar. Presiden Sukarno kemudian menganugerahinya gelar pahlawan.
Didorong oleh semangat “Jihad fi Sabilillah” untuk mempertahankan tiap jengkal tanah air, dan didasarkan atas kasih sayang kepada anak-anak dan cucu-cucunya, Kiai Subkhi memberikan bekal berupa do’a kepada anak-anak “Hizbullah” maupun “Sabilillah” Parakan. Sebelum mereka berangkat ke pertempuran, sambil berbaris dengan bambu runcingnya masing-masing, mereka diberkahi oleh Kiai Subkhi dengan do’a khusus  “Laa Tudrikuhul Absar Wahuwa Yudrikuhul Absar Wahuwa Latiful Kabir,” dengan tiga kali membaca sembari menahan nafas. Atas kehendak Allah, doa (syuwuk) Kiai Subkhi yang diberikan kepada para pejuang yang menggunakan sejata Bambu Runcing untuk melawan penjajah, terbukti ampuh, sehingga dapat mengalahkan tentara Sekutu yang menggunakan senjata api. Kisah heroik inilah yang menjadikan Kiai Subkhi terkenal sebagai “Kiai Bambu Runcing”.   

Sumber :
1. Drs. H. Anasom M.Hum, Kiai dan Bambu Runcing; Mengungkap Peran Sejarah Kiai dan Bambu       Runcing Pada Masa Perang Kemerdekaan (Kajian Sejarah Lesan), 2012
2. Ahmad Adaby Darban: Fragmenta Sejarah Islam Indonesia, 2008.
3. Tulisan ini dipublikasikan bertepatan dengan kegiatan Sarasehan Pengusulan Kiai Subukhi Parakan sebahai Pahlawan Nasional Tahun 2016, di Pendopo Pengayoman Temanggung.

Minggu, 26 Maret 2017

SETETES AIR DAN TOKOH BESAR


Pernahkan Anda mendengar cerita tentang Imam al-Ghozali? Atau setidaknya mendengar kebesaran nama beliau? Beliaulah salah satu pendiri kampus tertua di dunia, Madrasah Nidhomiyyah Mesir. Beliaulah tokoh panutan kita dalam bermadzhab dalam bidang tasawuf. Bisa kita lihat flashback ke belakang, ternyata proses kebesaran nama beliau tak semudah dan tak seindah yang kita bayangkan. Ketika masa awal menjadi santri, beliau pernah mengalami keputusasa’an dalam pengembaraannya. Beliau sempat ‘mutung’ ketika itu. Hanya lantaran tetesan air yang menembus sebuah batu. Nalar berpikirnya muncul lantaran kejadian alam tersebut. Beliau berbalik seketika melihat kejadian tersebut. Dan hasilnya bisa kita lihat di zaman ini, nama beliau tak pernah absen dari khasanah ketokohan ilmu.
Bagaimana dengan kita? Setiap manusia memiliki riwayat hidup yang beragam. Baik dari proses dia mencari jati diri ataupun proses-proses yang lain. Tentu saja kesemuannya demi menuju sebuah insan yang kamil. Perkara sebelum kesempurnaan diri itu belum tergayuh, kok Sang Khaliq memanggil kita, itu sudah urusan lain, namun intinya kita sudah berproses untuk mencapai itu.

Saya ambil sebuah contoh bagi aktifis organisasi. Bila kita tilik jauh ke palung terdalam. Banyak hikmah yang terkandung di dalamnya, baik yang tersurat ataupun hanya tersirat. Dengan berorganisasi banyak hal yang bisa kita petik, dan itu semua tak jauh menuju berkehidupan seperti apa yang sudah diserukan oleh agama samawi.

1) Bersedekah

Tak hanya urun tenaga dan pikiran. Namun juga materi. Itulah sebuah kebiasaan bagi aktifis organisasi. Perkara besarannya tak seberapa, tentu saja sesuai kodar kemampuan ekonomi pribadi masing-masing person. Yang hanya satu lubang yang perlu diisi, namun beberapa lobang sudah senantiasa mengantri untuk ia ‘sambangi’ demi sukses dan berhasilnya misi dalam organisasi. Masalah kontinyu, yang semestinya itu ia jalani selama ia masih berkiprah dalam organisasi. Lambat laun hal ini akan menjadi kebiasaan, dari kebiasaan menjadi watak dan disinilah puncaknya ia menjadi seorang yang dermawan.

2)   Bermanfaat bagi orang lain

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain. Adagium inilah yang tak pernah lekang terbesit di telinga para aktifis organisasi. Dari kebiasannya menjadi pelayan orang lain, lagi-lagi itu menjadi watak dan kebiasan dalam hidupnya.

3)   Mampu memanusiakan manusia

Ini sangat penting. Betapa hal sepele akan menjadi besar ketika hal tersebut kita tinggalkan. Tahu posisi dan tahu diri, itulah salah satu karakter yang akan membentuk diri kita dengan lantaran aktif di organisasi. Kita sangat paham arti sebuah prosedur. Dan kita pun sangat paham arti sebuah proses. Tak ada kata yang namanya ‘mak bendhun-dhuk’. Semua ada alurnya, semua ada prosedurnya. Dalam berorganisasi tak ayal pasti diajarkan untuk melakoni sebuah prosedur yang ada. Sehingga dengan itu kita paham dan kita bisa memanusiakan manusia yang berperan di dalamnya. Meminjam bahasa jawa ‘ora unyak-unyuk’.
Terlalu sedikit bila hikman berorganisasi yang berjumlah tiga tersebut di atas, lain waktu kita sambung kembali.
Pesan sementara : “Berorganisasilah demi menuju diri yang sempurna, meskipun tak ada manusia yang sempurna”. Bila terpaksa ada sebuah tanya pilih organisasi mana? Maka saya harus jujur ikutlah NU dalam berorganisasi, karena didalamnya banyak terkandung berkah, NU itu tak hanya ngurusi urusan dunia namun lebih dari itu NU itu juga ngurusi urusan akhirat, Wallohua’lam
----------

BERSAMBUNG, insyaAlloh

DIDIN DAN AINI PIMPIN RANTING IPNU IPPNU JRAGAN

PROSESI PEMILIHAN KETUA Temanggung (25/12) bertempat di TPQ Kiai Juragan Desa Jragan Kecamatan Tembarak tak kurang dari 50 kader m...